Header Ads



Asal Muasal Sosiologi dan Kaitanya Dengan Hukum

LINTAS PUBLIK - Asal Muasal Sosiologi dan Kaitanya Dengan Hukum. Sosiologi adalah disiplin ilmu yang bertanggung jawab untuk membuka akses ekonomi, politik, sosial, dan kekuasaan bagi kelompok masyarakat yang tak memiliki akses. Sosiologi adalah alat ideologi untuk memperjuangkan hak bagi setiap orang untuk masuk ke kelompok mainstream. Sosiologi adalah aktivisme. Kelompok ini memandang sosiologi harus mampu mempengaruhi kebijakan atau kehidupan masyarakat yang terkait. Sosiologi diharapkan memecahkan masalah sosial yang relevan yang dihadapi komunitas yang bersangkutan. Pendekatan lain menganggap sosiologi sebagai ilmu dasar yang lebih berkonsentrasi pada masalah ilmu sosial daripada masalah sosial. Sosiolog memiliki prioritas utama berkonstribusi pada ilmu sosial, meskipun konstribusi pada komunitas di luar profesi penting tapi itu bukan yang utama

Sedangkan arti sebuah hukum, seperti yang telah di bahas sebelumnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa hukum menurut bahasa berarti kaidah standar segala sesuatu. Tetapi hal itu tidak berarti begitulah arti dari hukum, karena sebenarnya standar segala sesuatu berarti kaidah hukum itu sendiri dan hukum dalam segala sesuatu tidak akan keluar dari bentuknya sebagai standar segala sesuatu. Menurut istilah, hukum berarti setiap sesuatu yang menyebabkan adanya timbal balik antara dua buah fenomena yang timbal baliknya berarti suatu kelanggengan dan ketetapan.

Arti Hukum secara sosiologis menurut Donald Black (1972) adalah: "From a sociological point of view, law is not what lawyers regard as binding or obligatory precepts, but rather, for example, the observable disposition of judges, policemen, prosecutors, or administrative official".

Kalaulah kita gabungkan antara sosiologi dan hukum, dengan menjadikan sosiologi sebagai ilmu dasar, maka tampaklah keterikatan antara keduanya. Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala yang timbul dari masyarakat dalam saat yang sama juga sebagai obyek hukum, akan banyak membantu banyak dalam perbaikan sebuah hukum.

Asal Muasal Sosiologi dan Kaitanya Dengan Hukum

Hampir seluruh pendiri sosiologi (dan ilmu sosial) lahir dari spekulasi. Akibatnya, sosiologi seringkali berteman erat dengan ideologi-ideologi berat dunia: sosialisme, kapitalisme, fasisme, dan sebagainya, termasuk demokrasi sekalipun. Jalan ilmu sosial menyimpang dari ilmu-ilmu alam, karena ilmu alam relatif hampir bebas dari ideologi-ideologi tersebut. Sosiologi mungkin memang ditakdirkan menjadi peletak dasar kebijakan penguasa, dan melalui hal ini ideologi berkarib dengan sosiologi.

Auguste Comte (1798-1857), filsuf positifis Perancis, yang mencoba menyusun spekulasi-spekulasi alam filosofi ini. Ia merupakan orang yang menggunakan istilah SOSIOLOGI pertama kali, dengan terinspirasi pada fisika yang santer dikerjakan oleh bapak fisika dunia saat itu, Isaac Newton (1642-1727), sebagai ilmu yang mempelajari hukum-hukum alam. Ia menunjukkan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang mengatur kehidupan sosial. Telaah spekulatif Comte ini diteruskan oleh filsuf sosial Inggris, Herbert Spencer (1820-1903). Ia sangat dipengaruhi oleh biolog pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin (1809-1882), dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Dari sini mulailah sosiologi berkembang. Sejak awal kelahiranya, sosiologi menggembung sebagai ilmu yang benar-benar mempelajari tubuh masyarakat, sementara masyarakat sendiri pun tersusun atas teka-teki yang sama rumit dan sulitnya, manusia, makhluk yang memiliki kemampuan paling tinggi di seluruh permukaan bumi.

Dan semuanya memang spekulasi. awal-awal sosiologi distrukturkan adalah memang awal-awal yang penuh pandangan spekulatif. Lantas, bagaimana kabarnya kemudian. Bagaimana sosiologi akhirnya berkolaborasi dengan kekuasaan? Bagaimana ia hidup dan berkembang sehingga menjadi sandaran kebijakan negara terhadap masyarakat? Bagaimana sosiologi terkadang tercampur aduk dengan ideologi? Jawaban-jawaban pertanyaan yang diajukan belum juga terjawab. Belum lagi tatkala sosiologi lebih menggembung lagi saat harus berkaitan dengan modal dan kekayaan, uang, ekonomi. Adam Smith (1723-1790), yang ditahbiskan sebagai pendiri ilmu ekonomi mencoba memberikan jawaban. Namun, lagi-lagi, zaman itu memang zaman yang penuh spekulasi.

Bagaimana nasib sosiologi? Di beberapa negara komunis ilmu politik dan ideologi menguasai sosiologi. sangat sedikit perkembangan sosiologi di negeri komunis yang memang berkecenderungan menjadi diktator bahkan fasis. Sosiologi masih berkembang. Ia malah belajar banyak dari kemelut dan krisis sosial yang ada. Dalam kajian filsafat, secara sederhana, empirisisme merupakan doktrin filsafat yang menekankan bahwa semua pengetahuan harus disandarkan pada pengalaman, dan menolak kemungkinan munculnya gagasan yang muncul tiba-tiba tanpa proses mengalami. Di sisi lain, utilitarianisme merupakan doktrin etika yang menunjukkan bahwa apa-apa yang baik adalah apa-apa yang memiliki kegunaan, dan nilai etis dari setiap tindakan dilihat dari kegunaan yang diperoleh sebagai hasil dari tindakan tersebut. Kedua pemikiran inilah yang menjadi tempat berpijak sosiologi primitif dari Mill.

Pemikiran Mill yang patut dicatat adalah tentang kebebasan individual dan bahwa kebijakan apapun dari pemerintah tidak boleh bertentangan dengan kebebasan individu. Agak mirip dengan Tocqueville, Mill menekankan bahwa kebebasan individual dapat terancam baik oleh pendapat sosial maupun oleh tirani politik. Secara praktis, Mill juga memiliki beberapa pendapat soiologis yang menarik, seperti kepemilikan sumber daya alam oleh individu, kesamaan antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender), pentingnya pendidikan, dan keluarga berencana.

Perubahan pada masyarakat pada abad 19 memberikan pengaruhnya kepada cara-cara pendekatan terhadap hukumyang selam itu di pakai. Aliran sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstrak dan ideologis kepada lingkungan social yang membentuk hukumnya.

Tanpa melupakan pakar sosiolog terdahulu, munculah ahli sosiolog abad 19 Emil Durkheim (1858-1917) yang sejak semula mempunyai perhatian besar akan hukum, tanpa meninggalkan metode empiris, Ia mencoba mengaitkan antara hukum dan masyarakat. Durkheim memusatkan perhatianya pada pertanyaan besar tentang apa sebabnya masyarakat terjadi, bukankah masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri?Mengapa mereka bisa hidup dalam ikatan kemasyarakatan?Apa yang menyebabkan mereka terikat kedalam satu kesatuan kehidupan?

Dukheim menemukan faktor yang di carinya dalam bentuk solidaritas. Baginya yang pertama adalah kesadaran sosial, bukan kesadaran individual. Durkheim menekankan perhatianya pada fenomen solidaritas sosial yang terdapat antara orang-orang dalam masyarakat. Yang akhirnya di ambil kesimpulan bahwa meskipun solidaritas tidak dapat di tangkap dan di ukur dengan pasti pada periode masyarakat terdahulu namun ia menemukan lambang yang empiris pada hukum. Ia melihat adanya pertalian antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas dalam masyarakat.

Obyek Sosiologi Hukum dan Fungsinya

Hukum dapat dipahami sebagai gejala masyarakat, maka keseluruhan kebiasaan hukum yang berlaku dalam masyarakat merupakan obyek dari ilmu pengetahuan hukum. Tapi tentunya ilmu hukum saja tidak bisa bediri sendiri untuk mencatat setiap gejala-gejal yang timbul pada masyarakat yang ada, ia juga membutuhkan ilmu yang lain untuk tujuan tersebut, seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, dan antropologi hukum.

Sosiologi Hukum merupakan cabang ilmu yang termuda dari cabang ilmu hukum yang lain, hal itu tampak pada hasil-hasilnya yang hingga kini masih sangat sedikit. Hal itu di karenakan ilmu yang baru harus mempertahankan dirinya pada dua kancah perang, sebab hak hidupnya sebagai ilmu yang berdiri sendiri di tentang oleh para ahli, baik ahli hukum ataupun ahli sosiologi.

Karena itulah tulisan-tulisan yang agak besar jumlahnya yang disajikan sebagai sosiologi hukum, sebagian besar di tujukan untuk membela cabang ilmu pengetahuan tersebut dengan menguraikan cara dan tujuanya. Tetapi celakanya ialah banyak perselihan paham antara para ahli sosilogi itu sendiri mengenai objek ilmu tersebut, tugas dan hubunganya dengan cabang ilmu lain, sehingga perjuangan dalam dua kancah tadi, lebih di persukar lagi dengan perselisihan intern antara para ahli sosiologi hukum tersendiri. Dengan demikian masih terdapat kesukaran masalah pembatasan wilayah kerja dari ilmu sosiologi hukum itu sendiri,. Dengan demikian banyak orang yang membahasnya terkadang menarik batas yang terlalu luas sehingga tidak nampak ilmu itu sebagai ilmu tersendiri, dan hampir terkaburkan antaranya dengan sosiologi umum itu sendiri karena cakupanya yang terlalu luas.

Segala gejala pergaulan hidup manusia, dalam ilmu sosiologi di jadikan sebagai obyek penyelidikan. Sedangkan ilmu sosiologi lainya mempelajari yang lebih khusus dalam lingkupnya dari gejala masyarakat tertentu: hukum, agama, bangsa, kesenian, kemakmuran rakyat dsb. Sosiologi hendak menghubungkan simpul hubungan gejala-gejala masayarakat semua. Hukumpun ikut ambil tempat dalam ilmu tersebut, tentunya hanya di pandang dari sudut tertentu (hukum) dari gejala masyarakat tersebut.

Sosiologi hukum mempergunakan hukum sebagai titik pusat penyelidikanya. Dengan berpangkal pada kaidah-kaidah yang diuraikan dalam undang-undang, keputusan –keputusan pemerintah, peraturan, kontrak, keputusan hakim, tulisan-tulisan yang bersifat yuridis, dan sumber-sumber hukum yang lain. Sosiologi menyelidiki sampai di manakah kaidah-kaidah tersebut dengan sungguh-sungguh dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat: dengan perkataan lain hidup masyarakat mengikutinya dan menyimpang darinya, dengan maksud mencapai pencatatan tentang aturan-aturan hukum yang sebagai kenyataan diikuti dalam pergaulan masyarakat,. Dari sangkutpaut sosiologis antara hukum dan gejala–gejala lainya ia mencoba menerangakan, di satu pihak menerangakan mengapa terdapat peraturan hukum yang kongkrit sebagaiman yang kini terdapat, pada lain pihak pengaruh apa yang di adakan oleh peraturan hukum tersebut atas gejala-gejala masyarakat lainya.

Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena hukum dari segi sosial mempunyai beberapa karakteristik study hukum secara sosiologis sebagai berikut;

1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberian penjelasan terhadap praktek-prektek hukum. Apabila praktek itu di bedakan kedalam pembuatan undang-undang, penerapanya, dan pengadilanya, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Penjelasan sosiologhi hukum atas alasan terjadinya praktek hukum dan faktor yang berpengaruh dalam pembentukanya, latar belakang, tujuan dsb. Penjelsan ini memang asing kedengaranya bagi studi hkum "tradisional", yang bersifat prespektif, yang hanya berkisar pada "apa hukumnya" dan "bagaimana penerapanya". Maka Weber menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai sebagai interprestatif understanding, yaitu dengan cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku sosial (Weber, 1954:1). Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu "luar" dan "dalam". Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang, Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.

2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah "Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?", "Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?". Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada p-eraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris).

3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyekdari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum,. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum sebagai obyektifitas semata dan dan bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang nyata.

Dalam hal penjelasan sosiologi terhadap terbentuknya undang-undang, pelaksanaanya, dan peradilanya. Maka sosiologi mengambil peran yang sangat banyak dalam hal ini, sebagi sasaranya adalah badan hukum itu sendiri baik dari pembutan undang-undangan, pengadilan, advokat, polisi dsb. yang terlibat bayak dalam hukum. Pada waktu pembuatan undang-undang maka yang bisa di tarik dari komposisi dari undang-undang adalah seperti usia para anggota perumusnya, latar belakang sosial dsb. Factor tersebut memperoleh perhatian, oleh karena itu pembuatan undang-undang di lihat dari manifestasi dari kelakuan manusia juga. Oleh karena itulah faktor-faktor itu di anggap penting untuk bisa menjelaskan mengapa peraturan undang-undang seperti itu adanya. Dalam sosiologi hukum ada anggapan undang-undang itu tidak sepenuhnya netral, apalagi dalam realita kehidupan yang sekarang ini yang semakin komplek permasalahan yang ada tentunya ada factor-faktor yang menyebabkan terjadinya undang-undang yang demikian itu.

Sosiologi hukum selalu mengajukan pertanyaan yang karakteristik seperti: "Seberapa efektivitas dari peraturan-perturan hukum tertentu?", "Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektivitas peraturan hukum-hukum tertentu?", "Apakah sebabnya orang taat kepada hukum?", "Golongan mana yang di untungkan dari perturan hukum yang di buat?", dan lain sebagainya yang menjadi obyek penyelidikan sosiologi hukum.

Sosiologi hukum lazimnya di mulai dengan sikap "kecurigaan intelektual", yaitu tidak mau begitu saja menerima dan mempercayai pernyataan hukum, apakah itu dalam bentuk peraturan atau dalam bentuk keputusan–keputusan pengadilan. Sosiologi hukum misalnya tidak menerima bahwa hukum akan menyelesaikan konflik, bahkan bisa jadi karena hukum maka terjadi konflik. Atau bisa juga berisi peraturan yang menyelesaikan konflik yang sifatnya sementara yang akhirnya juga akan menimbulkan konflikbaru.

Sosiologi hukum yang yang berusaha untuk mengupas hukum sehingga hukum itu tidak di pisahkan dari praktek penyelenggaraanya, tidak hanya bersifat kritis melaikan juga kreatif. Kekreatifitasan ini terkletak pada kemampuannya untuk menunjukan adanya tujuan-tujuan serta nilai-nilai tertentu yang ingin di capai oleh hukum. Sosiologi hukum akan bisa mengingatkan orang kepada adanya tujuan-tujuan yang demikian itu. Ilmu ini akan mampu juga memberikan informasi mengenai hambatan-hambatan apasaja yang menghalangi pelaksanaan suatu ide hukum dan dengan demikian akan sangat berjasa guna menghindari dan mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Melihat kuantitas masyarakat Indonesia yang semakin hari semakin bertambah, yang berarti juga makin banyak kepentingan individu yang ada, dalam hal ini tentunya banyak sekali tumpang tindih kepentingan yang ada dalam pembentukan suatu hukum, dan tentunya akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Suara mayoritas selalu menentukan dalam hal ini, dan hal ini tidak menjamin suatu perbaikan dalam hukum. Maka peran sosiologi hukum lagi-lagi menjadi pusat perhatian, akan tetapi pertanyaan yang timbul sekarang adalah siapakah yang akan menggunakan ilmu ini dalam tarapan praktek?. Semua jawaban ada pada diri kita semua.

Sumber: Forum Studi Syariah wal Qanun

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.